Miq Gita “Melawan”

  • Bagikan

: By Badrul Munir

Kegagalan terbesar otonomi daerah adalah gagalnya daerah mengembangkan budaya lokal sebagai tuan di negeri sendiri.

Otonomi daerah secara tegas mengamanatkan agar setiap pemerintahan daerah membangun daerahnya sesuai dengan potensi dan kondisi daerah. Budaya adalah potensi sekaligus kondisi lokalitas daerah yang khas. Menjadi pembeda antara daerah yang satu dengan lainnya.

Setiap daerah boleh jadi mempunyai potensi fisik yang nyaris sama, tapi akan berbeda ketika diteropong lewat aspek budaya. Rona budaya menjadi pembeda sekaligus sebagai perekat.

Miq Gita, sangat memahami fakta lapangan. Pengalaman bergelut dalam dunia birokrasi dan praktisi kebudayaan, memberi pemahaman yang cukup bagaimana budaya diapresiasi pada posisi yang tepat dan terhormat.

Ketika Miq Gita mengintrodusir program “Jumat Salam” dan “Jumat Belondong”, itu merupakan jawaban atas fenomena yang terjadi bahwa pembangunan NTB semakin menjauh dari sumbu kebudayaan. Bahkan merupakan bentuk “Perlawanan” Miq Gita dalam menyikapi realitas pembangunan yang nyaris kehilangan spirit budaya di semua lini.

Budaya sebagai mesin penggerak sudah kehilangan tempat. Ini fakta. Tenti tidak boleh kita biarkan.

Jargon NTB Maju Melaju, tak lain adalah suatu ikhtiar melakukan percepatan dari pencapaian pembangunan selama ini. Kalaulah dinamika pembangunan NTB sudah bergerak cepat, tentu saja butuh percepatan. Sebuah strategi akseleratif yang memosisikan budaya lokal sebagai unsur penggerak.

Ikhtiar perlawanan Miq Gita, tentu harus didukung oleh tim kerja yang kuat dan solid. Terutama jajaran birokrasi. Sebagai mesin organik pemerintahan, birokrasi harus sehat. Steril dari virus pragmatisme, ambiguisme dan penikmat zona nyaman. Tak kalah penting, penguatan koordinasi kelembagaan dengan jajaran kabupaten dan kota, harus menjadi prioritas. Baik hubungan fungsional maupun struktural.

Karakteristik NTB Maju Melaju yang dibangun dengan semangat Nilai-nilai Budaya Lokal, tentu akan mampu menjawab hakikat dari otonomi daerah. Yaitu daerah membangun sesuai dengan kondisi lokalitas daerah.

Pembangunan di Lombok biarkan berkembang dengan nilai-nilai budaya Sasak, demikian pula di Dana Mbojo dan Tana Samawa, dengan nilai-nilai budaya Mbojo dan Samawa. Sehingga akan nampak mozaik pembangunan NTB yang bernuansa lokalitas daerah. Baik fisik maupun non fisik.

Di dalam dunia yang mengglobal ini tentu kita tidak mampu menolak modernitas. Hal itu lumrah. Seperti yang dikatakan oleh Ralph Linton, “di dunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan kebudayaannya masih asli, karena telah terjadi penyebar serapan budaya secara murni ataupun modifikasi.”

Semoga Tuhan melapangkan ikhtiar kita bersama. Kita warga NTB mampu menunjukkan identitas budaya sebagai karakteristik pembangunan daerah.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *