(Ritual Iring Iringan Bisok Menik atau Mensucikannya Beras ke Lokasi Lokok Kremean)
Gatanews.id, Desa Sesait merupakan salah satu desa di pulau Lombok yang masih menjaga dan melestarikan budaya setempat, salah satunya adalah tradisi “Maulid Adat”. Pada Bulan Rabi’ul Awal masyarakat Desa Sesait menggelar tradisi Maulid Adat Sesait yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali, bertepatan dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tradisi ini sudah dilakukan pada pertengahan abad ke-14 bersamaan dengan masuknya ajaran Agama Islam ke bumi Sesait. Pelaksanaan Maulid Adat diiringi dengan berbagai rangkaian tradisi yang bersifat sakral dan sarat akan nilai-nilai Filosofi tersendiri.
Sebelum dilangsungkannya Maulid Adat, tiga minggu sebelumnya akan digelar musyawarah untuk menentukan kesepakatan, akan digelar atau tidak digelarnya Maulid adat. Musyawarah dilakukan oleh Tau Lokaq Empat yang terdiri dari Mangkubumi, Pemusungan (Kepala Pemerintahan/kepala Desa) , Penghulu (tokoh keagamaan), dan Jintaka (tokoh yang mengatur pola tanaman pertanian) musyawarah ini dilaksanakan di Kampu (singgasana atau rumah adat Sesait). Setelah keputusan Tau Lokak Empat ditetapkan bahwa Maulid adat akan dilaksanakan maka selanjutnya Tau Lokak Empat pun akan menyebarluaskan informasi tersebut ke kaula bala (Masyarakat dimasing-masing wilayah).
Setelah adanya kesepakatan pelaksanaan Maulid Adat, Tau Lokak Empat kembali mengadakan musyawarah untuk membahas dan menentukan tanggal dimulainya ritual Maulid Adat, pelaksanaan prosesi maulid adat berlangsung selama 4 (empat) hari. Setelah ditetapkannya tanggal pelaksanaan, masyarakat melakukan persiapan yang dimulai dengan membersihkan tempat-tempat yang akan jadikan lokasi ritual Maulid Adat diantaranya, lingkungan Masjid Kuno Sesait, Membersihkan Sumur Lokok Kremean sebagai lokasi tujuan Bisok Menik (cuci beras), membersihkan kampu beserta alat-alat yang digunakan, dan membersihkan Sumur Lokok Paok yang airnya digunakan untuk berbagai persiapan dan membuat makanan-makanan khas Desa Sesait salah satunya jaja Pangan (dodol).
Setelah itu, pada sore harinya para Mangku yang telah diundang berkumpul di Kampu untuk menggelar prosesi awal Ritual Maulid Adat, adapun mangku yang diundang yakni Mangku Lokok Kremean, Mangku Payung Agung, Mangku Lokok Paok, Mangku Ran, Mangku Air, Mangku dan Gong Dua. Setiap mangku memiliki tugas masing-masing pada acara ritual tersebut.
Disamping itu, prosesi penjemputan Praja Mangku dan Praja Penghulu yang terdiri dari dua orang perempuan yang sudah sepuh (monopouse) dan dua orang perempuan muda yang belum aqil baligh yang disebut praja Nina. Kemudian, keempat praja dijemput untuk tinggal di rumah sekitar Kampu dan menetap mulai dari hari pertama hingga berakhirnya ritual Maulid Adat. Praja yang dijemput memiliki filosofi atau makna tersendiri yakni melambangkan simbol kesucian, Praja tersebut bertugas untuk “Menutu Pare Bulu” (menumbuk padi yang berbulu) sampai menjadi beras. Setelah itu, dilanjutkan dengan pembuatan jaja pangan (sejenis dodol), air yang digunakan untuk membuat dodol diambil dari Lokok Paok (sungai) oleh Toak Lokak (orang tua) Mangku Bumi. Pada menjelang Magrib, Gong Dua (alat musik tradisional Sesait) diturunkan dari Bale Agung Pusaranya. Lalu di arak menuju sebelah utara Kampu untuk dibunyikan dan di inapkan selama satu malam. Pada keesokan harinya tepatnya hari ketiga Gong Dua kemudian dibawa ke selatan Mesjid Kuno ditempatkan di rumah warga dibunyikan sampai pada waktu solat Dzuhur. setelah itu, dengan lokasi yang sama Gong Dua dipindahkan menuju Berugak warga yang lainnya ( Brugak merupakan bangunan terbuka yang terbuat dari kayu terletak pada halaman rumah warga, Brugak merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh Kabupaten Lombok Utara) Gong Dua di inapkan dan dibunyikan hingga selesainya ritual proses Maulid Adat.
Pada acara sore harinya dilanjutkan dengan acara Merembun (mengumpulkan) hasil bumi masyarakat Desa Sesait baik itu berupa hasil pertanian, peternakan, perkebunan dll. Merembun dilaksanakan oleh Ina Bapu (sebutan untuk perempuan yang sudah ibu-ibu dan nenek-nenek) yang kemudian dikumpulkan di Kampu dan diterima oleh salah satu Toak Lokak Empat yaitu Jintaka. Hasil Bumi yang telah dikumpulkan digunakan sebagai bekal (makanan) selama melaksanakan ritual Maulid Adat.
(Ritual merembun hasil pertanian dan peternakan yang dilakukan oleh Ina Bapu untuk dibawa ke Kampu)
Pada sore harinya dilanjutkan dengan acara Memajang yang dilakukan oleh Tau Lokak Empat (Mangkubumi, Penghulu, Pemusungan, dan Jintaka) adapun prosesnya dilakukan dengan pemasangan kain putih di atas tiang Mesjid kuno, kain yang dipasang panjangnya sekitar empat meter mirip seperti kain kafan. Memajang dilaksanakan setelah Sholat Ashar yang dilakukan secara berjamaah di Mesjid Kuno. Ritual Memajang merupakan ritual pembuka pelaksanaan ritual-ritual lainnya. Memajang merupakan simbol persamaan dan kesetaraan umat Manusia sebagai mahkluk ciptaan Allah Swt. Setelah ritual Memajang dilaksanakan dilanjutkan dengan Sholat Magrib dan Isya berjamaah di Mesjid Kuno.
(Ritual Memajang yang dilakukan oleh Tau Lokak Empat)
Kegiatan berikutnya Semetian yang dilaksanakan dihalaman Kampu. Semetian sendiri diartikan saling pukul memukul oleh dua pria dewasa dengan menggunakan Penjalin (rotan). Laki laki yang bermain Semetian sering disebut dengan Pepadu (Jagoan), sebelum kegiatan ini dimulai terlebih dahulu diawali dengan Pepadu Nina Sik Wah Supuk (perempuan yang sudah monopouse) baru kemudian Pepadu Mama (Jagoan Laki Laki) bertarung sampai tengah malam. Kegiatan Semetian ini bersifat hiburan semata, namun konon pada zaman dahulu Semetian ini digunakan oleh Masyarakat Sesait untuk mengelabui musuh yakni umat Hindu yang sedang berkuasa. Dengan adanya hiburan tersebut maka seluruh umat hindu yang ada di Sesait berbondong bondong untuk menyaksikan acara tersebut sehingga pada saat itulah umat Islam secara diam diam melaksanakan Solat berjamaah secara bergantian dengan jumlah masing masing 10 orang.
(Semetian atau Presaian yang dilaksanakan di Halaman Kampu)
Ritual Maulid Adat pada hari keempat yang merupakan acara puncak dari seluruh rangkaian ritual yang telah dilewati. Ritual puncak tersebut diawali dengan ritual Bisok Menik (cuci beras) dipagi harinya ke Lokok Kremean, Lokok Kremean diyakini oleh masyarakat Sesait dulunya tempat pemandian bidadari dan orang-orang suci. Sehingga, Lokok Kremean dianggap tempat yang sakral dan tidak dapat dimasuki oleh orang-orang sembarangan. Disamping itu Lokok Kremean juga hanya digunakan pada saat melakukan ritual adat Bisok Menik diwaktu Maulid Adat yang dipandu oleh Mangku atau sebagai jalan pembuka menuju lokasi tempat Bisok Menik. Ritual Bisok Menik dilakukan oleh kaum hawa baik yang masih gadis maupun yang sudah berkeluarga sambil membawa peraras (bakul) yang berisi beras. Para perempuan yang mengikuti acara ini berjalan beririangan dari Kampu menuju Lokok Kremean dan diiringi oleh gamelan (musik tradisional), pada ritual ini pula perempuan dari desa tetangga berbondong bondong datang untuk ikut berpartisipasi. Sama halnya dengan Semetian ritual Bisok Menik juga pada zaman dahulu digunakan sebagai cara untuk mengelabui umat hindu sehingga dengan demikian masyarakat Sesait dapat melangsungkan kegiatan keagamaan secara diam diam tanpa diketahui.
Setelah ritual Bisok Menik selesai, pada hari yang sama Ba’da Dzuhur dilangsungkan dengan ritual penyembelihan hewan kurban atau masyarakat Sesait menyebutnya dengan sebutan Sembeleh Kok (penyembelihan kerbau) yang ukuran, umur, dan bobot sudah ditentukan oleh para leluhur atau disebut dengan (Kok Kembalik Pokon). Penyembelihan ini dilakukan di depan Masjid Lokak. Disamping itu, masyarakat lainnya menyiapkan peralatan memasak hewan kurban yang sudah disembelih untuk dimasak dan disajikan pada Ba’da Ashar dan dibawa ke Masjid. Dihari yang sama pula didalam Kampu, Nasi Aji yang akan dibawa ke Mesjid Kuno dan Payung Agung yang nanti akan ditempatkan dipintu masuk Mesjid Kuno sedang dipersiapkan. Persiapan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, sehingga hanya orang orang tertentu yang dapat melakukannya yakni berdasarkan pada Pusara (garis keturunan).
Setelah itu, ritual dilanjutkan dengan Mbau Praja Mama (menangkap Praja Laki Laki) dengan cara mengejar dan menangkap setiap laki-laki yang belum aqil baliq sebanyak tiga orang untuk dijadikan putra mahkota dan disandingkan dengan Praja Nina (Praja yang sudah terpilih pada hari pertama ritual Maulid Adat) yang kemudian kedua praja ini sebagai Praja Mulud (sepasang putra-putri mahkota). Praja Mulud bertugas sebagai penjaga pintu Masjid Kuno dengan membawa Payung Agung dan menjaganya dari sentuhan orang lain yang melewati pintu Masjid Kuno. Apabila Payung Agung tersebut disentuh oleh orang lain, maka orang tersebut akan diberi sanksi yaitu dipukul menggunakan Pemecut (penjalin yang diberi tali) oleh Praja Mulud. Sementara dua orang Praja Lainnya ditempatkan di tempat imam sebagai penjaga abu dedeng (sebuah wadah untuk menaruh abu api atau yang biasa digunakan para ibu untuk memberikan kehangatan bagi bayinya ketika baru lahir)
Pada sore harinya yakni hari terakhir dari ritual maulid Adat Wet Sesait dilanjutkan dengan ritual Naikang Dulang Nasi Aji dengan wadah dulang (sajian makanan menggunakan nampan yang diatasnya terdapat piring tempat makanan dihidangkan). Dulang ini dibawa oleh para laki laki yang diiringi oleh Tau Lokak Empat ( Mangkubumi, Penghulu, Pemusungan, dan Jintaka) dari Kampu menuju Masjid Kuno. Pada ritual ini tidak ada yang boleh berbicara atau berkata kata sehingga apabila membutuhkan bantuan hanya dengan menggunakan kode atau isyarat pada satu sama lainnya. Waktu Naikang Nasi Aji ke Mesjid Kuno diyakini pada waktu Gugur Kembang Waru (waktu menjelang Magrib). Prosesi maulid adat pun berakhir dan ditutup dengan Do’a Maulid oleh penghulu adat.
Prosesi Maulid Adat bagi masyarakat Sesait merupakan transformasi nilai-nilai agama untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari, seperti nilai gotong royong, dan nilai keagamaan yang menyangkut moral, kepercayaan Toak Lokak (orang tua) zaman dahulu menerapkan nilai-nilai agama dengan tindakan. Selain itu, sebagaimana yang dikatakan oleh tokoh-tokoh adat sesait bahwa agama dan adat harus berjalan beriringan sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat dikatakan “Luwir Gama” yang merupakan agama dan adat tidak dapat dipisahkan dan harus berjalan beriringan.
Oleh : Denda Devi Sarah Mandini