Konflik Pemanfaatan Perairan di Tanjung Ringgit: Pemerintah Diminta Tegas

  • Bagikan

Gatanews.id, Lombok Timur | Sengketa pemanfaatan perairan di kawasan Tanjung Ringgit, Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, semakin memanas. Dua perusahaan, PT Eco Solutions Lombok (ESL) dan PT Autore Pearl Culture (APC), terlibat dalam konflik terkait hak pemanfaatan wilayah perairan tersebut.

 

PT ESL menuding PT Autore melakukan aktivitas budidaya mutiara secara ilegal di Blok D, yang menurut mereka telah dibeli dari pemegang izin sebelumnya.

 

Direktur Utama PT ESL, John Higson, menegaskan bahwa perairan tersebut seharusnya diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata berkelanjutan, bukan budidaya mutiara yang dinilai berpotensi merusak ekosistem laut.

 

“Kami selalu mengikuti aturan pemerintah. Kami disuruh beli kawasan itu, dan kami beli dari pemilik izin sebelumnya,” ujar John, Sabtu (01/02/2025).

 

Namun, PT Autore tetap beroperasi bebas di wilayah tersebut meskipun telah mendapatkan tiga kali Surat Peringatan (SP) dari pihak berwenang.

 

John menilai keberadaan PT Autore justru merusak ekosistem laut dengan memasang jangkar yang berdampak buruk pada terumbu karang dan kualitas air.

 

“Ini adalah skandal kejahatan lingkungan. Kalau kita tahu ada pelanggaran dan membiarkan, itu artinya kita juga ikut melanggar,” tegasnya.

 

Di sisi lain, PT Autore melalui kuasa hukumnya, Donal Fariz dari Visi Law Office, membantah tuduhan tersebut.

 

Fariz menegaskan bahwa aktivitas budidaya yang dilakukan PT Autore telah mendapatkan izin sejak 2010 dari Dinas Perikanan Lombok Timur dan Bupati Lombok Timur.

 

“Seiring dengan penerapan Undang-Undang Cipta Kerja, PT Autore saat ini sedang menyesuaikan perizinan dengan ketentuan yang berlaku. Saat ini kami masih menunggu persetujuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” jelas Fariz.

 

PT Autore juga mengklaim telah melengkapi dokumen perizinan dan telah mengikuti sejumlah pertemuan resmi dengan KKP untuk membahas pemanfaatan ruang laut.

 

“Menurut kami, legalitas PT Autore sudah tuntas, pembayaran pajak dan retribusi selama ini telah dipenuhi,” tambahnya.

 

Kuasa hukum PT ESL, I Gusti Putu Ekadana, menyesalkan sikap Pemda yang dianggap tidak tegas dalam menyelesaikan sengketa ini.

 

“Blok D itu jelas masuk zona pemanfaatan pariwisata. Ketika ada yang beroperasi di luar ketentuan, itu berarti melanggar tata ruang. Kalau melanggar tata ruang, artinya ada unsur pidana. Lalu, kenapa pemerintah tidak tegas?” ujar Ekadana.

 

Ia bahkan menyebut ada potensi melaporkan kasus ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika tidak ada tindakan tegas dari pemerintah daerah.

 

Sementara itu, PT ESL juga menghadapi tudingan miring. Perusahaan ini disebut hanya menjadi “broker” yang memanfaatkan kawasan tersebut sebagai sumber pendapatan lain, tanpa merealisasikan investasi pariwisata.

 

Menanggapi tudingan tersebut, Ekadana menegaskan bahwa PT ESL telah menyiapkan investasi puluhan miliar rupiah untuk pengembangan kawasan pariwisata berkelanjutan.

 

Namun, setiap pergantian kepemimpinan di Pemda, proyek mereka selalu menemui hambatan yang berdampak pada realisasi investasi.

 

“Keluarnya lima izin baru di kawasan itu semakin memperumit situasi. Konflik dan ketidakjelasan regulasi dari Pemda sendiri menjadi penghambat utama realisasi master plan yang sudah kami buat,” pungkasnya.

 

Sengketa antara PT ESL dan PT Autore mencerminkan ketidakjelasan tata kelola perizinan pemanfaatan laut di NTB. Dengan masing-masing pihak mengklaim memiliki hak legal atas perairan Tanjung Ringgit.

 

Pemerintah daerah dan pusat perlu segera turun tangan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah potensi dampak lingkungan lebih lanjut.

 

Apakah konflik ini akan berlanjut ke ranah hukum, ataukah pemerintah akhirnya akan mengambil sikap tegas? Semua pihak kini menunggu langkah berikutnya dari otoritas terkait. (gii)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *