Aparat di Ntb Tidak Meminta Pendapat Ahli Dari Perumus UU ITE, Berpotensi Penegakan Hukum yang Ugal-ugalan

  • Bagikan

Gatanews.id, Mataram | Sidang lanjutan kasus ITE dengan terdakwa M Fihiruddin berlangsung selama lebih 1,5 jam di pengadilan negeri (PN) Mataram, Rabu (24/05/2023).

 

Sidang yang dipimpin Majelis Hakim Kelik Trimargo, SH.,MH selaku Hakim Ketua, Mukhlassuddin, SH.,MH bersama Irlina, SH.,MH sebagai Hakim Anggota, dengan Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi NTB Adi Helmi, SH dan Tim Penasihat Hukum terdakwa dari Advokat NTB Bersatu Muhammad Ihwan, SH.,MH dan kawan-kawan.

 

Persidangan yang menghadirkan Ahli a decharge Teguh Arifiyadi, S.H. M.H. CEH., CHFI Ahli pidana bidang ITE yang merupakan salah satu perumus UU ITE dan menjabat Plt. Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang sekaligus pengajar mata kuliah Hukum Cyber di beberapa perguruan tinggi serta telah menjadi ahli di perkara pidana ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) lebih dari 1000 kasus yang sekitar 99% adalah atas permintaan penyidik dan penuntut umum di Indonesia, kecuali di NTB hampir semuanya atas permintaan dari Penasihat Hukum.

Dalam persidangan Ahli memberikan keterangan dibawah sumpah, diantaranya bahwa dalam UU ITE syarat menjadi ahli harus memilik latar belakang Akademis maupun Praktis, diterima atau tidak keterangannya ditentukan oleh Hakim tapi sebagai Perumus UU ITE agar normanya tidak keluar kemana-mana.

 

“Kementerian Kominfo melalui SK Dirjen Aplikasi Informatika tiap awal tahun menetapkan siapa saja yang memiliki kompetensi sebagai Ahli dalam perkara ITE dan mereka adalah perumus UU ITE yang masih hidup semuanya,” ucap Teguh.

 

Dilanjut Teguh, pendekatan Ahli itu tidak saja gramatikal kalau ahli pidana pasti akan menjelaskan dari sisi gramatikal dan ahli bahasa dari gramatikal linguistik. Tapi kalo Ahli ITE dari para perumus tidak saja akan menjelaskan dari sisi gramatikal melainkan juga historikal dan filosofika.

 

“Ditahun ini ada 23 Ahli. Namun selama ini oleh Kepolisian dan Kejaksaan di Daerah NTB Ahli ITE bukan berasal dari Kementerian Kominfo melainkan berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM, kecuali di Polres Lombok Timur yang baru setahun belakangan ini menggunakan ahli ITE dari Kementerian Kominfo,” katanya.

 

Hasil riset kasus ITE paling banyak adalah yang sifatnya asimetrik yang artinya tidak setara posisi pelapor dengan terlapor misalnya Direktur melawan Pegawai, Pejabat lawan Masyarakat, Orang kaya lawan si miskin sehingga bisa dikatakan lebih dari 75% kasus ITE adalah asimetrik dan posisi tidak setara ini yang membuat banyak orang pasrah untuk masuk penjara.

 

“Dengan adanya kejadian tersebut, maka dibentuk 2 Tim, 1 Tim merevisi UU ITE yang sekarang masih berjalan dan 1 tim lagi membuat SKB sebagai transisi sampai UU ITE selesai direvisi targetnya bulan Juni 2023 yang menjadi salah satu bahasan utama yaitu Pasal 27 dan 28,” jelasnya.

 

“Maka logikanya, dengan adanya SKB yang ditandatangani oleh Kapolri dan Jaksa Agung RI serta Kementerian Kominfo yang mengikat semua pihak yang menandatanganinya seharusnya diikuti oleh bawahannya,” lanjutnya.

Khusus untuk Kejaksaan bahkan ada aturan tambahan yaitu Pedoman Jaksa Agung RI No. 7 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Informasi dan Transaksi Elektronik pada Tahap Prapenuntutan.

 

“Pada salah satu pasalnya tegas menyebutkan Jaksa Peneliti dalam menangani perkara pidana ITE melakukan koordinasi dan/atau konsultasi dengan Kementerian Kominfo dan tidak ada intervensi dari Kementerian Kominfo, betul-betul dari Jaksa Agung RI yang membuat pedoman untuk seluruh Jaksa di Indonesia kalau perkara ITE di tingkat prapenuntutan agar dimintakan pendapat Ahli dari Kementerian Kominfo,” bebernya.

Yan Mangandar Putra selaku Ketua Pusat Bantuan Hukum Mangandar (PBHM) NTB yang juga anggota Tim Penasihat Hukum terdakwa mengatakan Keterangan ahli ITE tersebut persis sama dengan pengalaman yang terjadi pada 2017, tim telah menangani kasus ITE bersama Koalisi #savebaiqnuril, BKBH FH UNRAM dan Advokat NTB Bersatu dengan melibatkan Ahli ITE Kementerian Kominfo sebagai Ahli a decharge.

 

“Ada 3 kasus, Baiq Nuril Maknun (Staff Honorer Tata Usaha SMA dilaporkan oleh Kepala Sekolah), Asmurien Kholil (Buruh Serabutan dilaporkan oleh beberapa Pejabat Pemerintah Daerah Lombok Utara) dan Ida Made Santi Adnya (Advokat yang dilaporkan oleh Pemilik Hotel) yang seluruhnya dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Mataram divonis Bebas,” kata Yan Mangandar.

 

Dia juga berharap untuk kasus Fihiruddin dapat divonis bebas. Karena sangat jelas kasus yang dilaporkan oleh Ketua dan beberapa anggota DPRD NTB ini adanya asimetrik posisi yang tidak seimbang antara Pejabat melawan rakyat.

 

“Terdakwa Fihirudin ini kan seorang aktivis ketua dari LSM Logis yang hanya mengajukan pertanyaan di whatssap grup, meminta penjelasan benar tidak informasi ada beberapa anggota DPRD NTB yang ditangkap di Jakarta karena menggunakan narkotika,” katanya.

 

“Sepatutnya pertanyaan tersebut cukup ditanggapi di grup terbatas tersebut tidak harus dengan laporan polisi. Selain itu kami pun menilai apa yang dilakukan oleh Ketua dan Anggota DPRD NTB ini adalah judicial harassment yaitu penyalahgunaan proses hukum dengan melakukan intimidasi dan pembungkaman kritik yang disuarakan aktivis, jurnalis, atau elemen warga lainnya melalui jalur hukum,” tambahnya.

 

Yan Mangandar berharap untuk Kepolisian dan Kejaksaan di NTB kedepannya dalam menangani perkara ITE agar meminta pendapat ahli ITE dari Kementerian Kominfo agar potensi penegakan hukum tidak digunakan secara ugal-ugalan dengan tidak hati-hati karena ada upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan berbulan-bulan di sel penjara yang membatasi kebebasan tersangka.

 

“Bukan saja mengakibatkan kesengsaraan bagi tersangka, namun juga keluarganya terutama Istri dan anak-anaknya,” tutup Yan. (*)

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *